Curhatan Seorang Muslim Amerika ketika di Indonesia

Muslim Amerika

Apa yang ada dalam pikiran seorang Muslim Mu’alaf Amerika ketika dia tinggal di Indonesia ?

Entah apakah aku beruntung atau tidak mendengar curhatan seseorang ini, yang pasti rasanya ada yang mengharuskanku untuk menyampaikan curhatan ini ke sesama umat muslim di Indonesia.

Hari itu saya sengaja tidak langsung pulang dari masjid Azzikra (Sentul) setelah shalat zuhur. Niatnya ingin mencari pencerahan buat postingan minggu ini. Belum nge-fly lama-lama, seseorang menepuk bahuku dari belakang,

“Assalamu’alaykum”, kata orang tersebut sambil tersenyum.

Ternyata orang yang selama ini saya hindari akhirnya menyapa saya. Bukan, bukan karena hal buruk saya menghindari beliau, tapi karena beliau native speaker bahasa inggris dan saya tidak punya bahan pembicaraan dengannya. Idiot memang.

Sebut saja namanya Brother Ibrahim (saya khawatir apa yang akan disampaikan dibawah ini secara tidak sengaja akan menzaliminya, jadi saya samarkan namanya). Dia seorang muslim mua’alaf. Asalanya Chicago, Amerika Serikat. Aslinya afro-american. Beliau kesini karena tugas riset PHD-nya tentang Thibun Nabawi vs. Pengobatan Konvensional. Selain itu, beliau juga menikah dengan orang indonesia, orang padang tepatnya. Mereka menikah ketika di Amerika Serikat. Dari perwatakannya, beliau cukup santun, malah lebih santun dari orang indonesia kebanyakan. Tapi mungkin stereotipe orang barat yah, Beliau ketika berbicara tidak menyembunyikan sedikitpun opininya. Istilahnya dalam bahasa indonesia, blak-blakan.

Saya mengenalnya secara tidak sengaja. Waktu itu teman saya yang berbicara dengannya, saya melihatnya tapi saya cuek saja. Tiba-tiba saja teman saya memanggil saya karena dia pikir saya lancar berbahasa inggris, padahal tidak juga, Geblek memang.

Setelah 3 kali diskusi dengan beliau, ada beberapa yang mungkin saya rasa penting untuk para fellow muslim di Indonesia. Sebenarnya beliau sendiri mengatakan bahwa beliau ingin menyampaikannya sendiri ke saudara-saudara muslim Indonesia, tapi kendala di Bahasa.

Curhatan beliau saya bentuk ke dalam beberapa poin di bawah ini. Poin-poin dibawah ini hanyalah persepsi saya tentang apa yang beliau sampaikan, jadi bisa saja poin dibawah ini salah (tidak sebagaimana yang beliau sampaikan)

Mudah dan susahnya menjalankan Islam di Indonesia

“I am suprised”, beliau menjelaskan keheranan akan fenomena muslim Indonesia

Ketika membaca al-Qur’an di dalam bus justru dilihat dengan pandangan yang tidak mengenakan oleh penumpang lainnya. Beliau heran, di negara dengan mayoritas muslim seperti ini membaca al-qur’an di tempat umum masih dianggap asing.

Walaupun begitu beliau juga senang dengan mudahmya menjalankan islam (selain hal di atas) di Indonesia. Seperti dengan mudahnya menemukan masjid dan menemukan komunitas muslim.

Tidak islaminya (sebagian) muslim di Indonesia

“Kafiroon, Munafiqoon, Faasiqoon, ….”

Beliau menjelaskan nama-nama tersebut bahwa ada banyak orang-orang seperti itu ditengah-tengah kita. Beliau heran dengan budaya yang tidak islami di tengah masyarakat yang mayoritas muslim ini. interaksi bebas antara pria dan wanita, akhlak yang kurang santun, acuh kepada lingkungan, muslim yang dengan mudah menzalimi muslim lainnya. Beliau menyinggung kata-kata dalam al-qur’an seperti munafiqun, dan fasiqun, untuk mengambarkan mereka.

Memang,

Di Indonesia mungkin kita lebih populer dengan “Islam KTP”, dan mungkin istilah tersebut justru berdampak “penghalusan” sebagaimana kata Pelacur dengan PSK atau Wanita Penghibur. Padahal justru kata Islam KTP, dalam islam bisa dikategorikan ke orang munafik, orang fasik, dan lain sebagainya. Yang mana jika sudah masuk kategori tersebut maka itu sudah bukan hal sepele, tapi ancamannya neraka.

Yang menjadi masalah adalah, kita menganggap orang munafik dan fasik adalah biasa, tak lagi patut dipermasalahkan. Mungkin kalau 1 atau 2 orang memang tidak masalah. Tapi kalau orang munafik dan fasik itu sebanyak orang muslim yang tidak shalat subuh di masjid itu baru masalah, masalah sosial umat muslim.

Budaya buruk di Indonesia

“I am confused, i don’t know how to act, to fight or not”

Beliau bingung ketika beliau melihat kezaliman seorang muslim terhadap muslim lainnya. Beliau bingung apakah beliau harus berantem atau bagaimana katanya, apalagi beliau belum lancar berbahasa Indonesia.

Tapi yang lebih cukup mengherankan lagi bagi beliau adalah betapa mudah hal tersebut terjadi dan betapa mudahnya orang lain membiarkannya.

Selain itu beliau cukup dikagetkan dengan kejadian pembully-an siswa SD di Bukittinggi oleh siswa SD lainnya.

“How Come? Where is the men?”, kurang lebih seperti itu reaksi beliau.

Ukhuwah Islamiyah yang masih dipertanyakan

Sampai kemudian dalam dialog kemarin beliau menyinggung nasionalisme, dengan konotasi yang sedikit negatif.

Saya adalah salah satu orang yang kadang-kadang masih memegang prinsip nasionalisme. Walaupun saya belum tahu pasti definisinya.

Tapi saya tidak bisa membantahnya. Maksud saya, jika saya berbicara tentang nasionalisme di depannya, sama saja saya membuat sebuah batasan, sebuah dinding dengannya, hal tersebut dikarenakan dia tidak sebangasa dengan saya. Padahal dalam saat yang bersamaan dia adalah saudara seiman, derajatnya di mata saya seharusnya sama saja dengan muslim indonesia lainnya.

Atau saya saja yang salah tentang definisi nasionalisme ?

Frustasi dan Heran terhadap (sebagian) muslim di Indonesia

“I am so frustated”

Begitu kata beliau. Rasa frustasi tersebut datang dari keheranan beliau terhadap muslim Indonesia. Sangat banyak muslim di Indonesia tetapi kita tidak benar-benar bisa menjalankan Islam sepenuhnya di Indonesia, frustasi.

Memang,

Ada yang mengatakan bahwa 80% persen dari penduduk di Indonesia adalah muslim. Dan saya pernah mendengar, hanya 20% muslim yang rajin beribadah ke masjid. Kalau bisa kita ambil penilaian kasar maka 80% umat muslim adalah “muslim KTP” ?

Dakwah salah satu jalannya

Tidak Merekomendasikan Kuliah ke Amerika Serikat kecuali benar-benar urgen atau penting

Teman saya bertanya bagaimana menurut pandangan dia jikalau kita melanjutkan studi ke Amerika.

Beliau tidak merekomendasikannya

“What do you want ?”

Untuk apa belajar ke sana, bila di sini kita memiliki lingkungan yang lebih kondusif untuk menjalankan keislaman kita.

Jadi ?

Kalau saya boleh menyimpulkan apa yang beliau pikirkan melalui diskusi kami dalam satu kata maka kata tersebut adalah : Heran

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*